Jumat, 09 Desember 2011

Kita tengah memasuki abad XXI. Abad ini juga merupakan milenium III perhitungan Masehi. Perubahan abad dan
perubahan milenium ini diramalkan akan membawa perubahan pula terhadap struktur ekonomi, struktur kekuasaan, dan
struktur kebudayaan dunia.

Fenomena paling menonjol yang tengah terjadi pada kurun waktu ini adalah terjadinya proses globalisasi. Proses
perubahan inilah yang disebut Alvin Toffler sebagai gelombang ketiga, setelah berlangsung gelombang pertama
(agrikultiur) dan gelombang kedua (industri). Perubahan yang demikian menyebabkan terjadinya pula pergeseran
kekuasaan dari pusat kekuasaan yang bersumber pada tanah, kemudian kepada kapital atau modal, selanjutnya (dalam
gelombang ketiga) kepada penguasaan terhadap informasi (ilmu pengetahuan dan tekhnologi).

Proses globalisasi ini lebih banyak ditakuti daripada dipahami untuk kemudian diantisipasi dengan arif dan cermat. Oleh
rasa takut dan cemas yang berlebihan itu, antisipasi yang dilakukan cenderung bersifat defensif membangun
benteng-benteng pertahanan dan merasa diri sebagai objek daripada subjek di dalam proses perubahan.

Bagaimana dengan bahasa dan sastra? Apakah yang terjadi dengan bahasa dan sastra Indonesia di dalam proses
globalisasi? Apakah yang harus dilakukan dan kebijakan yang bagaiman yang harus diambil dalam hubungan sastra
Indonesia dalam menghadapi proses globalisasi atau di dalam era pasar bebas?

Mitos Tentang Globalisasi

Mitos yang hidup selama ini tentang globalisasi adalah bahwa proses globalisasi akan membuat dunia seragam. Proses
globalisasi akan menghapus identitas dan jati diri . Kebudayaan lokal dan etnis akan ditelan oleh kekuatan budaya besar
atau kekuatan budaya global.

Anggapan atau jalan pikiran yang demikian tidak sepenuhnya benar. Kemajuan teknologi komunikasi memang telah
membuat batas-batas dan jarak menjadi hilang dan tidak berguna. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknolgi telah
membuat surutnya peranan kekuasaan ideologi dan kekuasaan negara. Akan tetapi, Jhon Naisbitt dalam bukunya Global
Paradox memperlihatkan hal yang justru bersifat paradoks dari fenomena globalisasi. Di dalam bidang ekonomi,
misalnya, Naisbitt mengatakan "Semakin besar dan semakin terbuka ekonomi dunia, semakin perusahaan-perusahaan
kecil dan sedang akan mendominasi". Ia di dalam bukunya itu juga mengemukakan pokok-pokok pikiran lain yang
paradoks sehubungan dengan masalah ini. "Semakin kita menjadi universal, tindakan kita semakin bersifat kesukuan",
"berfikir lokal, bersifat global." Ketika bahasa Inggris menjadi bahasa kedua bagi semua orang, bahasa pertama, bahasa
ibu mereka, menjadi lebih penting dan dipertahankan dengan lebih giat.

Dari pernyataan Naisbitt itu, kalau kita mempercayai, proses globalisasi tetap menempatkan masalah lokal ataupun
masalah etnis (tribe) sebagai masalah yang penting yang harus dipertimbangkan. Dalam bukunya yang lain Megatrends
2000, Naisbitt juga mengatakan bahwa era yang akan datang adalah era kesenian dan era pariwisata. Orang akan
membelanjakan uangnya untuk bepergian dan menikmati karya-karya seni. Peristiwa-peristiwa kesenian yang akan
menjadi perhatian utama dibandingkan peristiwa-peristiwa olahraga yang sebelumnya lebih mendapat tempat.

"Berpikir lokal, bertindak global", seperti yang dikemukakan Naisbitt itu, pastilah akan menempatkan masalah bahasa dan
sastra, khususnya bahasa dan sastra Indonesia, sebagai sesuatu yang penting di dalam era globalisasi. Proses berpikir
tidak akan mungkin dilakukan tanpa bahasa. Bahasa yang akrab untuk masyarakat (lokal) Indonesia adalah bahasa
Indonesia. Proses berpikir dan kemudian dilanjutkan proses kreatif, proses ekspresi, akan melahirkan karya-karya sastra,
yakni karya sastra Indonesia.

Perkembangan Bahasa dan Sastra Indonesia

Di dalam sejarahnya, bahasa Indonesia telah berkembang cukup menarik. Bahasa Indonesia yang tadinya hanya
merupakan bahasa Melayu dengan pendukung yang kecil telah berkembang menjadi bahasa Indonesia yang besar.
Bahasa ini telah menjadi bahasa lebih dari 200 juta rakyat di Nusantara Indonesia. Sebagian besar di antaranya juga telah
menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama. Bahasa Indonesia yang tadinya berkembang dari bahasa Melayu
itu telah "menggusur" sejumlah bahasa lokal (etnis) yang kecil. Bahasa Indonesia yang semulanya berasal dari bahasa
Melayu itu bahkan juga menggeser dan menggoyahkan bahasa etnis-etnis yang cukup besar, seperti bahasa Jawa dan
bahasa Sunda. Bahasa Indonesia telah menjadi bahasa dari masyarakat baru yang bernama masyarakat Indonesia. Di
dalam persaingannya untuk merebut pasar kerja, bahasa Indonesia telah mengalahkan bahasa-bahasa daerah yang ada
di Indonesia. Bahasa Indonesia juga telah tumbuh dan berkembang menjadi bahasa yang modern pula.

Perkembangan yang demikian akan terus berlanjut. Perkembangan tersebut akan banyak ditentukan oleh tingkat
kemajuan masyarakat dan peranan yang strategis dari masyarakat dan kawasan ini di masa depan. Diramalkan bahwa
masyarakat kawasan ini, yaitu Indonesia, Malasyia, Thailand, Vietnam, Brunai Darussalam, dan Filipina akan menjadi
salah satu global-tribe yang penting di dunia. Jika itu terjadi, bahasa Indonesia (lebih jauh bahasa Melayu) juga akan
menjadi bahasa yang lebih bersifat global. Proses globalisasi bahasa Melayu (baru) untuk kawasan Nusantara, dan
bahasa-bahasa Melayu untuk kawasan Asia Pasifik (mungkin termasuk Australia) menjadi tak terelakkan. Peranan
kawasan ini (termasuk masyarakatnya, tentu saja) sebagai kekuatan ekonomi, industri dan ilmu pengetahuan yang baru di
dunia, akan menentukan pula bagaimana perkembangan bahasa Indonesia (dan bahasa Melayu) modern. Bahasa dan
sastra Indonesia sudah semenjak lama memiliki tradisi kosmopolitan. Sastra modern Indonesia telah menggeser dan
menggusur sastra tradisi yang ada di pelbagai etnis yang ada di Nusantara.

Perubahan yang terjadi itu tidak hanya menyangkut masalah struktur dan bahasa, tetapi lebih jauh mengungkapkan
permasalahan manusia baru (atau lebih tepat manusia marginal dan tradisional) yang dialami manusia di dalam sebuah
proses perubahan. Lihatlah tokoh-tokoh dalam roman dan novel Indonesia. Lihatlah tokoh Siti Nurbaya di dalam roman
Siti Nurbaya, tokoh Zainudin di dalam roman Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, tokoh Hanafi di dalam roman Salah
Asuhan, tokoh Tini, dan Tono di dalam novel Belenggu, sampai kepada tokoh Lantip di dalam roman Priyayi. Mereka
adalah tokoh-tokoh yang berusaha masuk ke dunia yang baru, dunia yang global, dengan tertatih-tatih.

Dengan demikian, satra Indonesia (dan Melayu) modern pada hakikatnya adalah sastra yang berada pada jalur yang
mengglobal itu. Sebagaimana dengan perkembangan bahasa Indonesia, sastra Indonesia tidak ada masalah dalam
globalisasi karena ia memang berada di dalamnya. Yang menjadi soal adalah bagaimana menjadikan bahasa dan sastra
itu memiliki posisi yang kuat di tengah-tengah masyarakatnya. Atau lebih jauh, bagaimana langkah untuk menjadikan
masyarakatnya memiliki posisi kuat di tengah-tengah masyarakat dunia (lainnya).

Kalau merujuk kepada pandangan-pandangan Alvin Toffler atau John Naisbitt, dua peramal masa depan tanpa bola-bola
kristal, bahasa Indonesia dan sastra Indonesia akan menjadi bahasa (dan sastra) yang penting di dunia.

Politik Bahasan dan Politik Sastra

Proses globalisasi kebudayaan yang terjadi mengakibatkan berubahnya paradigma tentang "pembinaan" dan
"pengembangan" bahasa. Bahasa Indonesia pada masa depan bukan hanya menjadi bahasa negara, melainkan juga
menjadi bahasa dari suatu tribe (suku) yang mengglobal. Bahasa tersebut harus mampu mengakomodasikan
perubahan-perubahan dan penyesuaian-penyesuaian yang mungkin dihadapi. Mekanisme pembinaan dan
pengembangan tidaklah ditentukan oleh suatu lembaga, seperti Pusat Bahasa, tetapi akan amat ditentukan oleh
mekanisme "pasar". Pusat Bahasa tidak perlu terlalu rewel dengan "bahasa yang baik dan benar". Politik bahasa yang
terlalu bersifat defensif harus ditinggalkan.

Di dalam kehidupan sastra juga diperlukan suatu politik sastra. Sastra Indonesia harus lebih dimasyarakatkan, tidak saja
untuk bangsa Indonesia, tetapi juga untuk masyarakat yang lebih luas. Penerbitan karya-karya sastra harus dilakukan
dalam jumlah yang besar. Sekolah-sekolah dan perguruan tinggi semestinya menjadi tempat untuk membaca karya-karya
sastra. Pengajaran sastra haruslah menjadikan karya-karya sastra sebagai sumber pengajaran.

Di dalam proses globalisasi, posisi yang harus diambil bukan sebagai objek perubahan, melainkan harus menjadi
subyek. Bahasa dan sastra (Indonesia) amat potensial menjadi bahasa dan sastra yang diperhitungkan di dalam dunia
global.

Jika dunia Melayu (dan Indonesia) akan hadir sebagai salah satu global-tribe di dunia dan kawasan Asia Pasifik, bahasa
dan sastranya harus juga berkembang ke arah itu. Bahasa Melayu (dan Indonesia) harus siap menerima peranan yang
demikian. Sastra Indonesia harus tetap menjadi sastra yang unik di tengah-tengah dunia yang global. Bahasa dan sastra
Indonesia (Melayu) harus mampu menjadikan kekuatan budaya (global-trible) yang baru itu. Untuk itu, diperlukan suatu
politik bahasa ( dan sastra) yang terbuka, bukan bersifat defensif.

Oleh:Prof. Dr. Mursai Esten

Sumber: Forum Bahasa dan Sastra

0 Comments:

Post a Comment



By :
Free Blog Templates