Jumat, 09 Desember 2011

Dinamika Globalisasi

Dinamika Globalisasi
Dalam beberapa tahun terakhir ini, topik globalisasi juga memasuki wacana akademis dan menjadi fokus diskusi dalam dunia pendidikan. Sebagian fenomena globalisasi juga mulai muncul dalam dunia pendidikan, termasuk di Indonesia. Tentu saja dinamika globalisasi mengandung berbagai implikasi bagi pendidikan dan nasionalisme baru Indonesia.
Salah satu gejala delokalisasi dalam pendidikan adalah penggunaan bahasa. Di Indonesia, bahasa Inggris secara resmi diajarkan dalam kurikulum mulai dari kelas 1 sekolah lanjutan tingkat pertama. Namun banyak sekolah mengajarkan bahasa Inggris sejak kelas 1 SD. Bahkan, taman kanak-kanak dan kelompok bermain juga tidak mau ketinggalan mengajarkan bahasa Inggris. 
Beberapa sekolah “unggulan” mengklaim penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dalam sebagian atau keseluruhan proses belajar mengajar. Penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar juga berkaitan erat dengan adopsi kurikulum asing di Indonesia. Ada beberapa produk kurikulum dan ujian dari luar negeri yang sudah (atau pernah dijajaki untuk) dipakai di sekolah-sekolah di Indonesia yang mengklaim diri sebagai sekolah internasional, semi internasional, atau nasional plus.

Jumlah anak Indonesia yang mengikuti program kurikulum dan evaluasi asing memang masih teramat sedikit. Mereka bisa disebut sebagai the privileged few yang mengejar keunggulan dalam era globalisasi dan persaingan bebas. Dalam dunia pendidikan, tarik ulur antara keunggulan dan pemerataan selalu menjadi isu sangat menarik untuk dikaji. Ketika ada banyak gedung sekolah ambruk dan ada anak yang bunuh diri karena tidak mampu membayar biaya sekolah, segelintir anak sedang menikmati proses belajar dengan sarana dan prasarana kelas dunia. 
Pendidikan sudah menjadi komoditas yang makin menarik. Suatu fenomena menarik dalam hal pembiayaan pendidikan menunjukkan gejala industrialisasi sekolah. Semakin mahal suatu sekolah, justru semakin laku. Semakin sekolah dikatakan plus, unggulan, atau berbau internasional, orang semakin tergiur untuk memasukinya. Bahkan ada fenomena menarik yang berkembang akhir-akhir ini. Beberapa pemain dari kalangan bisnis mengalihkan perhatian dan investasi mereka pada industri persekolahan. Bahkan beberapa sekolah mahal didirikan dan dikaitkan dengan pengembangan suatu kompleks perumahan elit. Sekolah-sekolah nasional plus di kota-kota besar di Indonesia dimiliki oleh pebisnis tingkat nasional dan didirikan dengan mengandalkan jaringan multinasional berupa adopsi kurikulum dan staf pengajar asing.
Era persaingan global dan pusaran neo-liberalisme tidak bisa dibendung lagi dan melanda dunia pendidikan. Di jenjang pendidikan tinggi, mahasiswa di berbagai universitas terkemuka di Indonesia melakukan aksi menentang biaya tinggi pendidikan tinggi. Otonomi pendidikan tinggi membawa implikasi hak dan kewajiban perguruan tinggi negeri dan swasta untuk mengatur pengelolaannya sendiri termasuk mencari sumber-sumber pendapatan untuk menghidupi diri.  Konsekuensi logis dari otonomi kampus, saat ini perguruan tinggi seakan berlomba membuka program baru atau menjalankan strategi penjaringan mahasiswa baru untuk mendatangkan dana. 
Perdebatan antara anti -otonomi dan pro-otonomi perguruan tinggi tidak akan berkesudahan dan mencapai titik temu. Kelompok yang menentang otonomi perguruan tinggi berpandangan negara harus bertanggung jawab atas pendidikan dan menanggung pembiayaan perguruan tinggi negeri.  Mereka mengkhawatirkan privatisasi perguruan tinggi akan menutup akses bagi calon mahasiswa dari kalangan tidak mampu dan fenomena komersialisasi ini justru akan menurunkan komitmen dan mutu pendidikan tinggi. Gejala McDonaldisasi pendidikan tinggi di Indonesia dianggap sebagai bagian dari gerakan neo-liberalisme yang menjelma dalam kebijakan pasar bebas dan mendorong pemerintah untuk melakukan privatisasi berbagai aset pemerintah. Heru Nugroho dkk (2002) menyoroti kontroversi otonomi perguruan tinggi di UGM dan menganggap kebijakan tersebut telah mengkhianati ideologi negara dan UUD 1945.
Sementara itu, kebijakan privatisasi pendidikan tinggi ini nampaknya akan terus dijalankan.  Dua alasan yang sering dikemukakan adalah ketidak-mampuan pemerintah membiayai pendidikan tinggi dan kebutuhan untuk meningkatkan daya saing perguruan tinggi negeri. Namun tanpa perhitungan kuota yang tepat dan sistem penunjang aksesibilitas, elitisme dalam pendidikan tinggi akan mengancam proses demokratisasi di Indonesia. Pendidikan yang diharapkan menjadi jembatan bagi pemerolehan akses ekonomi, politik, hukum, dan budaya secara lebih merata menjadi roboh.
Berkurangnya tanggung jawab pemerintah dalam pembiayaan pendidikan mengarah pada gejala privatisasi pendidikan.  Dikotomi sekolah negeri dan swasta menjadi kabur dan persaingan antar sekolah akan makin seru. Akibat langsung dari privatisasi pendidikan adalah segregasi siswa berdasarkan status sosio-ekonomi. Atau kalaupun fenomena itu sudah terjadi di beberapa kota, pemisahan antara siswa dari keluarga miskin dan kaya akan makin jelas dan kukuh.  Siswa-siswa dari keluarga miskin tidak akan mampu menanggung biaya yang makin mencekik sehingga mereka akan terpaksa mencari dan terkonsentrasi di sekolah-sekolah yang minimalis (baca: miskin) Sementara itu, siswa-siswa dari kelas menengah dan atas bebas memilih sekolah dengan sarana dan prasarana yang memadai. Selanjutnya, karena sekolah-sekolah ini mendapatkan iuran pendidikan yang memadai dari siswa, sekolah-sekolah ini juga akan mempunyai lebih banyak keleluasaan untuk makin membenahi diri dan meningkatkan mutu pendidikan.  Jadi sekolah yang sudah baik akan menjadi (atau mempunyai kesempatan) untuk menjadi lebih baik. Sebaliknya, sekolah yang miskin akan makin terperosok dalam kebangkrutan.

0 Comments:

Post a Comment



By :
Free Blog Templates