Jumat, 09 Desember 2011
Globalisasi bukan gejala alami tetapi terjadi karena tindakan manusia. Artinya, Ia merupakan hasil perkawinan antara kinerja kekuatan teknologi pada satu sisi dan kekuatan ekonomi pada sisi lain dalam setting hubungan internasional yang begitu menggema selama 25-30 tahun belakangan ini. Seperti banyak gejala lain, globalisasi ditandai oleh ambivalensi – yaitu tampak sebagai “berkah” di satu sisi tetapi sekaligus menjadi “kutukan” di sisi lain. Tampak sebagai “kegembiraan” pada satu pihak tetapi sekaligus menjadi “kepedihan” di pihak lainnya. Ciri ambivalensi seperti ini dalam globalisasi adalah persoalan sentral yang maha penting. Di situ terletak locus problematicus yang menyimpan tantangan besar bagi pendidikan sekolah. Beberapa contoh watak ambivalensi globalisasi dalam pendidikan sekolah adalah;
1). Globalisasi menghadirkan pesona “kecepatan” yang akan berlawanan dengan masalah “kedangkalan pemahaman pengetahuan pada anak didik”;
2).Globalisasi “menguntungkan bagi yang berpikir dan bertindak cepat” dan “celaka bagi orang yang berpikir dan bertindak lambat;
3). Globalisasi akan “memudahkan membuat hubungan dan mengatasi jarak wilayah (lokalitas) ” tetapi “adanya ketidakpekaan pada akar dan ciri-ciri budaya lokal”; dan
4). Globalisasi akan “memunculkan potensi menyelesaikan masalah secara cepat pada skala global” tetapi “menjadi beban keluasan lingkup pada skala penyebab masalah”.
Dilema-dilema seperti itu akan tetap menjadi ciri globalisasi kapan pun. Tugas para guru yang bergerak di lembaga pendidikan sekolah bukan meniadakan dilema, melainkan menyiapkan diri dan anak didik untuk hidup dalam tegangan-tegangan itu.
Secara popular, globalisasi berarti menyebarnya segala sesuatu secara sangat cepat ke seluruh dunia. Globalisasi juga berarti bahwa kerusuhan yang terjadi di suatu tempat tidak dapat disembunyikan karena secara serta-merta diketahui oleh seluruh dunia. Globalisasi juga berarti bahwa “rap musik” yang mula-mula hanya disukai oleh anak-anak muda berkulit hitam di bagian kumuh dari kota-kota besar di Amerika Serikat, dengan sangat cepat menjadi kesukaan anak-anak muda di Jakarta dan di kota-kota besar lainnya di Indonesia.
Dengan kata lain, globalisasi dipahami sebagai melokalnya hal-hal yang datang dari luar. Pandangan bahwa makan di McDonald atau di Kentucky Fried Chicken (KFC) lebih enak dan bergengsi dari pada makan di restoran padang atau di Warteg merupakan bukti dari proses lokalisasi dari kebiasaan yang datang dari Amerika Serikat ini. Sekarang sudah kelihatan pula kecenderungan untuk nonton bioskop sambil makan popcorn dan minum Coca-Cola. Ini juga suatu contoh dari proses lokalisasi terhadap kebiasaan-kebiasaan yang datang dari budaya luar tadi.
Dalam mengahadapi kenyataan seperti ini, kita menghadapi dua pilihan antara “membiarkan diri terseret oleh proses globalisasi” atau “kita memanfaatkan proses globalisasi untuk meningkatkan kompetensi dan profesionalitas pribadi”. Saya kira, kita semua memilih yang terakhir ini. Jika demikian halnya maka kita harus memasuki the world systems dengan sadar dan iklas. Di samping itu, kita harus pula mendefinisikan dengan jelas, jenis modernitas seperti apa yang akan kita pergunakan sebagai rancangan dasar untuk menjalani modernisasi proses pendidikan. Saya kira, kedua hal ini belum kita pikirkan secara baik di komunitas pendidikan di tanah air hingga saat ini.
* * *
Dalam membedah mutu pendidikan di tanah air hingga hari ini, terlihat ada tiga faktor penyebab terjadinya degradasi mutu pendidikan kita selama ini, antara lain;
Pertama, strategi pembangunan pendidikan kita selama ini lebih bersifat input oriented. Strategi yang demikian lebih bersandar kepada asumsi bahwa bilamana semua input pendidikan telah dipenuhi, seperti penyediaan buku-buku (materi belajar) dan kurikulum, penyediaan sarana pendidikan, serta pelatihan guru dan tenaga kependidikan lainnya, maka secara otomatis lembaga pendidikan di sekolah manapun di Indonesia ini, akan dapat menghasilkan output (keluaran) yang bermutu sebagaimana yang diharapkan. Ternyata strategi input-output yang diperkenalkan melalui teori Education Production Function sebagaimana diperkenalkan Hanushek tidak berfungsi efektif di lembaga pendidikan sekolah di daerah manapun di Indonesia. Strategi itu ternyata hanya cocok dipraktikkan pada sektor ekonomi dan industri semata.
Kedua, pengelolaan pendidikan selama ini lebih bersifat macro oriented, yaitu diatur oleh jajaran birokrasi di tingkat pusat. Akibatnya, banyak faktor yang diproyeksikan di tingkat makro tidak berjalan sebagaimana mestinya di tingkat mikro (sekolah). Bahkan, tidak jarang apa yang diproyeksikan di tingkat pusat cenderung menyimpang dari realitas sesungguhnya di sekolah-sekolah. Dengan kata lain, kompleksitas cakupan permasalahan pendidikan di banyak sekolah seperti; kondisi lingkungan sekolah, bervariasinya kebutuhan siswa dalam belajar, bervariasinya kemampuan guru, serta berbedanya aspirasi masyarakat terhadap pendidikan, seringkali tidak terpikirkan secara utuh dan akurat oleh birokrasi yang melahirkan kebijakan di tingkat makro (pusat).
Ketiga, pada tingkat sekolah sendiri persoalan yang kerap terjadi adalah lemahnya kemampuan kepala sekolah dalam membaca arus global. Tidak dapat dipungkiri, masih banyak sekali kepala sekolah di negeri ini yang tidak menguasai pengetahuan standar sebagai kepala sekolah seperti; kemampuan manajerial, penguasaan teknik kepemimpinan, menguasai teknologi informasi (komputer, internet), dan sebagainya. Kondisi ini masih terus terjadi lantaran di banyak sekolah, jabatan kepala sekolah tidak jarang dipilih melalui “sistem tunjuk” yang hanya didasarkan pada analisa faktor loyalitas, senioritas, ketokohan, dan kedekatan hubungan, dan mengesampingkan analisa kompetensi pribadi dan kemauan bersaing. Hasil yang kita saksikan adalah kerja kesehariana kepala sekolah cenderung konvensional – yaitu mengedepankan budaya kerja Asal Bapak Senang (ABS), menurut petunjuk, dan sebagainya. Kondisi yang sama kemudian ditiru para guru dari hari ke hari yang kemudian menghasilkan budaya kerja yang jauh panggang dari kompetensi dan professional. Akibat yang kita saksikan dari budaya kerja demikian adalah mutu pendidikan kita secara nasionala terus melorot dari waktu ke waktu dan anak didik kita tidak mampu bersaing secara terbuka di era yang serba kompetitif saat ini.
* * *
Tiga hal di atas memberikan pemahaman kepada kita bahwa pembangunan pendidikan bukan hanya terfokus pada penyediaan faktor input pendidikan semata yang harus digarap di tingkat pusat tetapi juga harus terus memperhatikan faktor proses pendidikan itu sendiri di sekolah-sekolah. Input, merupakan hal mutlak harus ada dalam batas-batas tertentu tetapi tidak menjadi jaminan secara otomatis dapat meningkatkan mutu pendidikan.
Mengingat sekolah sebagai unit pelaksana pendidikan formal terdepan dengan berbagai keragaman potensi anak didik yang memerlukan layanan pendidikan beragam dan kondisi lingkungan yang berbeda satu dengan lainnya, maka sekolah harus dinamis dan kreatif dalam melaksanakan perannya untuk mengupayakan peningkatan kualitas/mutu pendidikan. Hal ini hanya dapat dilaksanakan jika kepala sekolah di tingkat unit terkecil, memiliki sejumlah kompetensi dasar untuk bisa mengelola sekolah secara baik.
Dari definisi globalisasi dan sejumlah persoalan yang menghiasi komunitas pendidikan seperti diuraikan di atas, pertanyaan yang muncul kemudian adalah konsep pendidikan seperti apa yang harus kita kembangkan agar siswa lulusan sekolah kita bisa memasuki the world systems? Masih ada hubungannya dengan pertanyaan ini, bisakah tatanan hidup masyarakat kita diubah oleh sekolah sebagai institusi pembentuk nalar dan budi manusia Indonesia? Pertanyaan bernuansa pesimis inilah yang santer dikemukakan segelintir orang saat ini di tengah tidak siapnya banyak aktor pada komunitas sekolah menyeberangi arus globalisasi yang sarat tantangan dan mengandalkan kompetensi dan profesionalitas personal. Lanjutan dari pertanyaan di atas adalah, apakah perubahan kurikulum, sertifikasi tenaga guru, pengesahan undang-undang Guru dan Dosen dan perubahan-perubahan lainnya bisa mengatasi akar masalah pendidikan? Jawabannya tentu saja tidak. Sebab semua perubahan yang ada bersifat semu, sesaat, sentralistis, penuh muatan politis, dan sarat korupsi dan kepentingan.