Minggu, 11 Desember 2011
ita hidup di era globalisasi ini memiliki banyak resiko yang tidak pernah di jumpai pada masa sebelumnya. Resiko tersebut mempengaruhi kita, dan tidak jadi soal dimana kita hidup dan tidak peduli bagaimana kedudukan kita. Paket perubahan dengan globalsasi dan bentuk resiko dan ketidak pastian dalam perekonomian elektonik global yang sendiri baru berkembang akhir-akhir ini. Dalam kaitanya ilmu pemngetahuan resiko sangat terkait denangan penemuan inovasi baru. Resiko tersebut tidak dieliminisir tetapi bagaimana kita menghadapi dan keberanian dalam melakukan segala sesuatu. (Anthony Giddens:2004).
Kebanyakan perusahaan Multinasional rakasasa yang berbasis di Amerika. Tidak semuanya berasal dari Negara-negara kaya, namun juga tidak bersal dari wilayah yang lebih miskin didunia. Pandangan yang pesimis terhadap globalisasi sebagian berdasar merupakan urusan Negara industri utara, dimana masyarakat yang berkembang di selatan hanya berperan sedit atau tidak sama sekali. Pandangan ini juga menganggap bahwa globalisasi telah menghancurkan kebudayaan local, memperluas kesenjangan dunia, dan yang membuat keghidupan kaum miskin semakin terpuruk. Dan beberapa pihak mengatakan bahwa globalisasi menciptakan dunia terbelah antara pemenang dan pecundang, hanya sedikit sekali yang maju menuju kemakmuran, sementara yang lain mengalami kehidupan yang penuh kesengsaraan dan keputusasaan. Banyak data statistic yang memperlihatkan bahwa mereka yang miskin seperlima penduduk dunia, pendapatannya merosot dari 2,3 sampai 1,4 % dari seluruh pendapatan dunia, tetapi bagi Negara yang maju malahan jumlah pendapatannya meningkat. Sedangkan pada Negara kurang berkembang, regulasi mengeai keselamatan dan lingkungan hidup cukup rendah atau sama sekali tidak ada. Dan orang mengatakan bahwa sekarang mirip dengan kampong global (global village), tetapi lebih tepat dengan penjarahan global (global pillage). (Anthony Giddens:2004). Dengan berlangsungnya proses globalisasi telah melahirkan apa yang disebut oleh Marshall McLuhan the global village. (HAR.Tilaar:2002).
Dengan kebijakan akses pasar dan domestic support terhadap perusahaan multi nasional dan besar alasan persaingan global ini akan memaksa pemerintah untuk mengubah kebijaksaan dari subsidi petani kecil menjadi subsidi pada perusahaan agribisnis raksasa, dan proses ini sekaligus menggusur kemapuan petani kecil sebagai produsen. Salah satu dampaknya bagi petani adalah melepaskan sumber alam terutama tanah mereka, sedangkan dalam sector urban kebijakan yang didorong oleh globalisasi ini, penghapusan subsidi akan menyingkirkan dan memarjinalkan masyarakat miskin kota. (Mansuor Fakih: 2001).
Globalisasi sebagai ancaman, dengan meyebarnya alat komunikasi, kita dapat mengakses dan melihat gambar-gambar jorok. Dengan melihat pruduk iklan menjadikan menjadikan masyarakat berbudaya kumsumtif dengan gaya hidup seperti apa yang ada pada sinetron atau bahkan senang dengan gaya hidup global. Dengan melihat adegan kekerasan menjadikan sifat dan mental anak kecil meniru kekerasan. Sedangkan bagi faham kebebasan menjadikan anak ABG mendefinisikan kebebesan sama dengan kebebasan pada dunia sekuler, sehingga disini nilai agama, norma dan budaya local terancam olehnya. Kebebasan tersebut adalah kebebasan yang menjurus pada kepuasan lahiriah (pleasure), egoisme, dan hedonisme. (Qodri Azizy: 2003).