Minggu, 06 November 2011

Islam dan Globalisasi

Fenomena kehidupan saat ini menarik untuk dicermati. Realita kehidupan tak ubahnya seperti dunia di dalam rumah; semua sudah tidak mengenal jarak dan waktu. Apa yang terjadi di belahan dunia timur bisa disaksikan dengan cepat oleh penduduk dunia belahan Barat, begitu pula sebaliknya. Tak heran muncul sebuah adagium “dunia ini sudah menjadi desa buana”. Sudah tak ada yang tersimpan. Semua serba transparan.

Fakta tersebut telah menunjukan adanya sebuah bukti bahwa manusia telah menampilkan keberhasilannya dalam bidang sains dan teknologi, terutama dalam mengakses informasi. Dari sini tentu kita akan sepakat bahwa informasi adalah kebutuhan dhorûri (primer) bagi setiap manusia. Siapa yang mampu menguasai informasi, maka ia akan menguasai dunia.
Sesungguhnya fenomena globalisasi sudah lama muncul. Hanya saja istilah ini baru muncul ke permukaan. Terma “globalisasi” berasal dari bahasa Inggris “globalization” yang berarti menyebar luaskan serta memperluas jangkauan sesuatu agar menyentuh semua lapisan.

Globalisasi tidak hanya digunakan dalam bidang ekonomi saja, namun merupakan “ajakan” untuk mengadopsi paradigma tertentu (baca: Barat). Hal inilah yang kemudian banyak disoroti oleh para pengamat bahwa globalisasi sebenarnya tidak jauh beda dengan “amerikanisasi”.
Hal tersebut sangat jelas kita lihat dalam fakta yang terjadi di akhir-akhir ini; globalisasi hanyalah usaha Amerika untuk memperkuat hegemoni terhadap dunia. Banyak cara untuk melegitimasi hegemoni tersebut. Melalui lembaga-lembaga dunia seperti IMF dan bank dunia, mereka berusaha menguasai roda perekonomian dunia. Negara yang dianggap “penghalang” terpaksa harus disingkirkan dan harus diberi pelajaran. “Drama” tersebut bisa kita lihat dalam tragedi kemanusiaan di Afganistan, Palestina, Iran, Sudan dan selanjutnya entah negara mana lagi yang akan menjadi mangsa selanjutnya. Menyadari penyimpangan yang terjadi pada arti hakiki globalisasi tersebut, maka kita sebagai seorang muslim dituntut untuk bisa bersikap obyektif yaitu mampu melakukan pemilahan antara nilai-nilai positif (haq) dan nilai-nilai negatif (bâthil), agar sebagai umat Islam, kita tidak terjebak dalam jaring-jaring hegemoni Barat.

Kita menyadari bahwa globalisasi adalah trend sekaligus produk sejarah yang sedang terjadi dan kita alami. Kita tidak punya kekuatan untuk menolak apalagi lari dari kenyataan sejarah ini. Yang mesti kita lakukan adalah melakukan gerakan dinamis bersama arus ini yaitu dengan menjaga diri agar tidak kehilangan kendali serta jati diri.
Menghadapi era globalisasi, sikap kaum muslimin bisa dikatakan terbagi menjadi beberapa macam: Pertama, mengikutinya secara mutlak. Mereka meyakini bahwa apa yang ada di balik globalisasi dan semua hal yang berbau westernisasi adalah sebuah standar ideal yang perlu untuk ditiru. Sikap semacam inilah yang hanya akan menenggelamkan umat islam dari peredaranya. Kedua, mereka yang menolak secara keseluruhan. Golongan inilah yang diistilahkan oleh Prof. Dr. Yusuf Qordhowi sebagai kelompok “penakut”. Mereka takut untuk berhadapan secara langsung dengan peradaban Barat. Hal itu dinilai tidak “fair” karena dianggap lari dari kenyataan yang ada. Mereka menutup pintu rapat-rapat terhadap hembusan angin globalisasi karena takut terkena debu dan polusi peradaban. Padahal sejatinya mereka membutuhkan udara. Ketiga, golongan moderat (berada ditengah-tengah). Golongan inilah yang menjadi cerminan sikap ideal seorang muslim. Mereka sadar bahwa menutup diri serta mengisolasi diri dari dunia luar hanyalah usaha yang sia-sia belaka dan tak berguna. Mereka meyakini bahwa Islam adalah agama yang selaras dengan kemajuan zaman. Allah Swt. berfirman : “Dan tidaklah Kami utus kamu (wahai Muhammad) kecuali sebagai rahmat untuk sekalian manusia”

Pertanyaan selanjutnya yang mengemuka adalah tentang masa depan umat islam. Setidaknya ada dua prediksi; Pertama, pesimistik. Sikap ini muncul karena melihat realita yang ada dalam tubuh umat islam sekarang, dimana untuk ukuran perkembangan sains dan teknologi umat islam berada dalam posisi yang paling bawah dan sangat termarjinalkan. Permasalahan umat islam saat ini semakin kompleks. Terjadinya dekadensi moral, kesenjangan sosial, keterbelakangan, serta pelanggaran HAM telah begitu memprihatinkan. Inilah masalah-masalah yang sedang dihadapi umat islam. Untuk memperbaikinya umat membutuhkan waktu yang lama. Kedua, optimistik. Sikap ini didasarkan pada pengamatan sejarah, dimana kita pernah mengukir kejayaan di masa lampau. Dengan sikap yang seperti itu, mereka meyakini bahwa kemajuan peradaban akan terus berputar dan bergantian di antara manusia.

Sebagai umat islam, kita berkewajiban untuk berjuang dan menjunjung tinggi agama Islam. Ada beberapa tawaran alternatif: (1). Mengembalikan kesadaran umat islam yang selama ini “tertidur”. Ajaran islam harus disampaikan untuk kemaslahatan dan pencerahan manusia. (2). Bersikap inklusif terhadap budaya luar, karena sikap mengisolasi diri adalah sikap yang bertentangan dengan ajaran islam ( Al-hujrat 13). (3). Berpegang teguh pada ajaran Islam sebagai sumber inspirasi peradaban. Dan yang terpenting adalah merealisasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
WalLâhu a’lam bishowâb.

0 Comments:

Post a Comment



By :
Free Blog Templates