Minggu, 06 November 2011

Pemuda di Tengah Arus Globalisasi

Pemuda merupakan generasi penerus Bangsa yang di harapkan mampu menjawab persoalan-persoalan dan juga tantangan-tantangan Bangsa yang kian hari semakin rumit. Namun seiring berjalannya waktu peran pemuda khususnya mahasiswa di Indonesia kian meredup, hal ini terbukti dengan semakin apatisnya para mahasiswa melihat kondisi yang terjadi di sekitar mereka. Fenomena semacam ini memang sudah lumrah terjadi di era globalisasi yang terus berkembang seperti saat ini, karena pengaruh yang di berikan oleh globalisasi, dengan atau tidak sadar akan membuat pola pikir mahasiswa bergeser, dari yang seharusnya sosialis menjadi individualis, seharusnya ideologis menjadi pragmatis. Sebagai mahasiswa seharusnya hal semacam itu tidak boleh terjadi pada kita, karena apa? Karena apabila hal itu terjadi kita tidak lagi pantas menyandang gelar “maha” di depan kata siswa, sekali lagi coba kita resapi apa makna kata maha, dan kenapa kata itu disandangkan kepada kita, orang-orang yang menuntut ilmu di perguruan tinggi? Di luar negeri tidak ada gelar maha di depan kata siswa, hanya di Idonesia hal itu diberikan. Pemberian kata maha di depan kata siswa menunjukkan adanya harapan dari rakyat Indonesia terhadap kita para mahasiswa, karena hanya kepada sang mahalah rakyat Indonesia menaruh harapan dan menggantungkan masa depan mereka, maha-maha itu adalah pertama sang Maha Segalanya atau Tuhan dan yang kedua yaitu kita sang “maha”siswa, jadi ketika status kita telah berubah menjadi mahasiswa maka beban tanggungjawab yang kita embanpun bertambah, selain tanggungjawab terhadap diri sendiri, Tuhan, orang tua, kita juga bertanggungjawab terhadap Nusa dan Bangsa Indonesia. Karena itu sudah semestinya para mahasiswa untuk tetap menjadi kaum – kaum yang idealis yang bebas dari kepentingan pihak-pihak tertentu dan juga mampu mempertahankan ideologi dari gempuran arus globalisasi.

Berbicara mengenai globalisasi penting untuk kita ketahui apakah sebenarnya globalisasi itu? Kata “globalisasi” diambil dari kata global, yang maknanya ialahuniversal. Achmad Suparman menyatakan Globalisasi adalah suatu proses menjadikan sesuatu (benda atau perilaku) sebagai ciri dari setiap individu di dunia ini tanpa dibatasi oleh wilayah Globalisasi belum memiliki definisi yang mapan, kecuali sekedar definisi kerja (working definition), sehingga bergantung dari sisi mana orang melihatnya. Ada yang memandangnya sebagai suatu proses sosial, atau proses sejarah, atau proses alamiah yang akan membawa seluruh bangsa dan negara di dunia makin terikat satu sama lain, mewujudkan satu tatanan kehidupan baru atau kesatuan ko-eksistensi dengan menyingkirkan batas-batas geografis, ekonomi dan budaya masyarakat. Di sisi lain, ada yang melihat globalisasi sebagai sebuah proyek yang diusung oleh negara-negara adikuasa, sehingga bisa saja orang memiliki pandangan negatif atau curiga terhadapnya. Dari sudut pandang ini, globalisasi tidak lain adalah kapitalisme dalam bentuk yang paling mutakhir. Negara-negara yang kuat dan kaya praktis akan mengendalikan ekonomi dunia dan negara-negara kecil makin tidak berdaya karena tidak mampu bersaing. Sebab, globalisasi cenderung berpengaruh besar terhadap perekonomian dunia, bahkan berpengaruh terhadap bidang-bidang lain seperti budaya dan agama.
Melihat perkembangan dari globalisasi saat ini mungkin pengertian globalisasi yang paling tepat untuk  digunakan adalah pengertian yang kedua ( globalisasi tidak lain adalah kapitalisme dalam bentuk yang paling mutakhir ). Di masa lalu, untuk menjamin tersedianya bahan baku dan pasar bagi barang-barang yang di produksinya, maka kapitalisme berubah bentuk menjadi “imperialisme” dan “kolonialisme”. Dengan cara menaklukan negeri-negeri lain secara fisik dan menjadikan negeri-negeri itu sebagai jajahan atau koloninya, maka kaum kapitalis bisa secara paksa membeli bahan baku dengan harga yang sangat murah dan sebaliknya, bisa menjual hasil produknya dengan harga yang sangat tinggi. Cara ini terbukti telah mengakibatkan terjadinya penghisapan dan penindasan yang tiada tara kejamnya. Dalam konteks Indonesia hal inilah yang menjadi sebab musabab mengapa pemuda di republik ini bangkit melawan kolonialisme dan berjuang untuk kemerdekaan bangsa Indonesia. Cara-cara pemaksaan seperti yang terjadi pada masa kolonialisme sudah barang tentu tidak bisa  lagi di lakukan sekarang. Selain sudah ketinggalan jaman, cara semacam itu juga dianggap tidak beradab dan bertentangan dengan hak asasi manusia yang di akui sebagai hak universal.  Oleh karena itu, diperlukan cara baru yang lebih canggih, lebih elegan, dan seolah-olah lebih manusiawi. Dan cara itu dirumuskan oleh kaum neoliberal sebagai globalisasi dan pasar bebas.
Akan tetapi, sama halnya dengan bentuknya yang lama – imperialisme dan kolonialisme – , kapitalisme bentuk baru sekarang ini – globalisasi dan pasar bebas – sudah hampir dipastikan akan juga menghasilkan penghisapan dan penindasan. Dan, seperti dikatakan di atas, bentuk penghisapan dan penindasan itu lebih canggih,  sehingga seringkali membuat orang yang tertindas sendiri merasa senang dan bahagia. Selanjutnya kemampuan propaganda yang begitu hebat dan canggih dari kaum neoliberal ternyata telah menjadikan globalisasi dan pasar bebas sebagai sesuatu yang sangat populer dan dianggap sebagai sesuatu yang sangat indah bagi kebanyakan orang, terutama para tokoh politik dan pimpinan negara termasuk di Indonesia. Dengan ikut menyebut-nyebutkan gagasan itu, ditimbulkan kesan dan perasaan yang menempatkan mereka dalam posisi sebagai orang yang tanggap akan perkembangan jaman,sebagai orang yang mengerti persoalan dan berpikiran maju.
Begitu hebatnya propaganda kaum neoliberal itu, maka bahaya yang sangat besar dan sudah ada di depan mata menjadi tidak tampak sama sekali. Seperti misalnya, bahaya persaingan bebas yang hanya akan memenangkan pihak yang kuat saja, dan pada tahap berikutnya akan menjadikan jenjang perbedaan antara yang kaya dan yang miskin semakin lebar, sama sekali luput dari perhatian mahasiswa. Sekaliput kita sering kali mengkhawatirkan bahaya kesenjangan tersebut, namun dalam konteks globalisasi dan pasar bebas, bahaya tersebut seolah-olah hilang sirna dengan sendirinya. Bahaya proses free-fight competition and survival of the fittest ( persaingan bebas yang hanya akan memenangkan pihak yang kuat ) dan berbagai akibat turutannya, seperti proses akumulasi dan sentralisasi kapital serta proses proletarisasi kekuatan ekonomi lemah dan menengah yang merupakan bahaya dasar dari kapitalisme luput dari perhatian mahasiswa.
Sebagai kaum intelektual, seharusnya mahasiswa tidak mudah termakan oleh propaganda-propaganda kaum kapitalis yang berkedok globalisasi, memang globalisasi memberikan manfaat yang banyak terhadap kehidupan kita sekarang terutama dalam bidang informasi, namun sekali lagi apabila kita tidak pandai-pandai untuk memilah-milah, maka yang akan terjadi adalah justru kita terjebak dalam arus dan menjadi orang yang apatis serta hedonis seperti yang sekarang tengah terjadi di kalangan mahasiswa sekarang ini. Demi melanggengkan apa yang kita sebut globalisasi banyak hal di lakukan oleh para kaum kapitalis untuk membumkam pemikiran kritis para pemuda terutama para mahasiswa, yaitu dengan melakukan penjajahan terhadap pemikiran melalui berbagai cara yang terbukti ampuh seperti melalui film-film, produk-produk dan berbagai hal lainnya yang mampu membuat pemuda kehilangan jati dirinya.
Sebagai pemuda yang masih mempunyai idealisme, seharusnya kita mampu menjadi garda terdepan dalam membendung pengaruh negatif dari globalisasi terhadap Bangsa Indonesia, karena hanya orang yang mempunyai idealismelah yang mampu mempertahankan jati diri kita yang sebenarnya, jati diri sebagai Bangsa Indonesia yang besar, bangsa yang gemar akan gotong royong, bangsa yang suka akan kerja keras, bukan bangsa yang mudah terpecah belah dan konsumtif seperti saat ini.
Dalam kehidupan dalam organisasi-organisasi di dalam kampus pun, ruh pergerakan mahasiswa telah hilang, hanya eksistensilah yang menonjol dari apa yang dilakukan para mahasiswa dalam organisasi kampus yang sekarang ada seperti BEM, Senat Mahasiswa, maupun organisasi-organisasi yang lainnya. Esensi organisasi intrakampus lambat laun mulai hilang, kultur-kultur pergerakan yang progresif revolutionare mulai tergerus oleh jaman, hilang dan di gantikan dengan stagnansi pergerakan mahasiswa. Kampus sebagai gambaran negara dalam bentuk kecil telah berganti sebagai tempat berkumpul dan belajar, jarang sekali ada mahasiswa kritis yang mau mengkritisi berbagai hal yang terjadi.
Sudah saatnya pemuda baangun, sudah saatnya mahasiswa kembali ke rel nya yang sebenar-benarnya relnya mahasiswa, salah satu bapak proklamator kita yaitu bung karno sering berpidato kepada para mahasiswa yang salah satunya adalah HILANGKAN STERILITEIT DALAM GERAKAN MAHASISWA yang banyak memberikan pesan kepada kita para mahasiswa bagaimana kita seharusnya berbuat dan bertindak, ingat juga kata-kata beliau Beri aku seribu orang, dan dengan mereka aku akan menggerakan Gunung Semeru! Tapi berilahaku sepuluh pemuda bersemangat, maka aku akan mengguncang dunia. Lihat betapa besar asa yang di usung oleh para pemuda, bahkan dengan semangat mereka yang bersepuluh mampu mengalahkan seribu orang. Wahai para pemuda, wahai para mahasiswa begitu besar asa yang kalian usung dan jalan yang ada memang tak mudah namun dengan semangat, idealisme dan pemikiran kritis pastilah hal itu dapat kita lalui besama. MERDEKA!!!

0 Comments:

Post a Comment



By :
Free Blog Templates